Langsung ke konten utama

The Peak & Ngong Ping 360 (HK Special, Part 3)

Saya udah lama banget pengen nulis blog lagi, tapi ga nulis-nulis dan jadinya cuma janji-janji kosong. Sebenarnya pengen nulis tetang liburan pas lebaran kemarin, tapi berhubung cerita liburan tahun lalu aja belum selesai rasanya ga bertanggung jawab kalau ditinggalkan dan dilupakan. Menurut saya sesuatu yang udah terlanjur dimulai sebaiknya diselesaikan. Jadi bagi yang protes, "yaelah udah lama juga", harap maklum ya, namanya juga unfinished business. 

Jumat, 24-07-15
Hong Kong Special Trip
Day 3

Ada dua tempat yang akan dikunjungi hari ini: The Peak dan Ngong Ping 360 alias Big Budha. Saya juga kurang tahu pertimbangannya apa, karena itinerary-nya dibuat sama si mama,

The Peak
Ini kedua kalinya saya ke tempat ini. Saya sudah pernah cerita tentang jalan-jalan ke the peak di sini, jadi sekarang saya akan cerita singkat aja. Untuk yang mau tau cara ke The Peak dan berbagai hal lainnya bisa diliat di cerita sebelumnya.

Sama seperti pertama kali, saya naik trem ke The Peak. Bedanya karena sekarang bulan Juli cuacanya hujan. Saya beli tiket terpisah dengan yang lain karena saya ga mau masuk Madame Tussaud lagi. Keluarga saya yang lain ga beli tiket ke Sky Terrace 428 karena menurut penjaga loketnya kalau hari hujan ga akan kelihatan apa-apa. Sayangnya saya beli di loket lain dan si penjaganya ga bilang apa-apa.

Ternyata bener, sampe di atas penuh kabut ga bisa ngeliat pemandangan kota.




Di lantai observator yang gratis. Putih, ga keliatan apa-apa. 


Oiya. ternyata ada beberapa tambahan patung di Madame Tussaud dibandingkan tiga tahun lalu. Cuma ya ga signifikan juga jumlahnya. Jadi saya ga nyesel juga sih ga masuk lagi karena harganya kan lumayan mahal. Waktu yang lain masuk Madame Tussaud saya jalan keliling mal aja sambil belanja dikit-dikit.


Ngong Ping 360
Pulang dari The Peak kami langsung meluncur ke Ngong Ping 360. Ngong Ping 360 ini adalah daerah dataran tinggi yang letaknya dekat Disneyland. Cara yang paling populer untuk ke sana adalah naik kereta gantung dengan lantai kaca selama 25 menit.Untuk sampai ke terminal kereta gantungnya kami naik MTR dan turun di stasiun Tung Chung. Dari sana jalan kaki ga terlalu jauh.

Saya semangat banget, karena pas kunjungan tiga tahun lalu kereta gantung ini lagi ditutup karena sedang di-service. Bagi yang pengen ke Ngong Ping sebaiknya cek website Ngong Ping 360 untuk tau jadwal service tiap tahun nya, soalnya service nya kadang sampai enam hari.

Anaknya nambah satu, karena Freya (4 tahun) ponakan saya, mama papanya ga ikut ke Hong Kong. Please abaikan rambut acak-acakan, angin banget.

Nah, karena ini salah satu tempat wisata terkenal di Hong Kong, jadi ada banyak hal yang bisa dilakukan setelah turun dari kereta gantung. Pertama ada Ngong Ping Village, ini sih desa replika gitu, di sini juga ada beberapa atraksi tentang Budha, karena kalau jalan terus akan sampai ke Po Lin Monastery, Big Budha, dan terkhir Wisdom of Path.

Sayangnya waktu itu saya datang kesorean. Baru sampai jam lima lewat, padahal jam operasionalnya cuma sampai jam 6. Petugasnya bilang kalau mau naik kereta terakhir ke sana, lalu sampai sana ga bisa lama-lama dan ga bisa ke Big Budha karena udah ditutup. Juga harus balik lagi sebelum kereta terakhir abis. Dia juga memperingatkan kalau sekarang lagi kencang anginnya jadi akan bergoyang-goyang. Tapi berhubung udah keburu sampai sana yaudahlah kami pergi aja.

Ada dua pilihan kabin yaitu kabin biasa dan kabin kristal yang lantainya kaca, harganya tentu saja beda. Kami memilih paket yang pergi dengan kabin kristal dan pulang dengan kabin biasa.


Kabin kristal. Seru banget saya suka. FYI saya ga terlalu takut ketinggian, kalau yang takut mungkin serem ya.

Ketika turun dari kereta gantung kami disambut sama kabut yang lumayan tebal. Jadi sebenernya ini cuma desa replika, cuma karena ada efek kabut jadinya kayak beneran. Serasa di Sprited Away deh (film Ghibli, kali aja ada yang gatau). Kayaknya si kalau terang benderang desa ini ga sebagus itu sih.

Freya dan Ru di antara kabut-kabut. Sepi banget, malah ada sapi gede-gede pada lewat.

Seperti yang udah di infokan sebelum kami ga bakal bisa sampai ke Big Budha. Akhirnya kami cuma sampe gerbang Po Lin Monastery. Itu juga udah sepi banget ga ada orang. Semua udah pada ngantri naik kereta gantung terakhir. Ga tau sih kalau sampai ketinggalan kereta gantung harus naik apa pulangnya. Ternyata karena antriannya panjang kami baru naik kereta gantungnya juga setelah jam enam lewat juga.


Perjalan pulang naik kereta gantung. Bagus deh liat Hong Kong malam hari. 

Bye bye Big Budha! Kalau ada lain kali mungkin kita bisa bertemu.

Moral
- Kalau mau ke The Peak dan Ngong Ping 360 (Big Budha) dalam satu hari mungkin banget, tapi sebaiknya Big Budha pagi The Peak malam. The Peak buka sampai malam soalnya. Kemarin kami bikin itinerary terlalu optimis, merasa akan cepat pulang dari The Peak.

- Ke The Peak musim ujan itu lumayan rugi ga bisa liat pemandangan. Bandingin deh sama foto di The Peak pas hari cerah. Ke Big Budha musim ujan seru-seru aja karena penuh kabut.

- The Peak dan Ngong Ping 360 (Big Budha) sama-sama recommended buat dikunjungi.

- Untuk tau harga dan info lebih lengkap tentang Ngong Ping silahkan cek website resminya.

SEBELUMNYA >> Disneyland Hongkong (HK Special, Part 2)
SELANJUTNYA >> Jalan-jalan ke Macau (HK Special, Part 4)

Komentar

  1. hi mba, mau tny. klo ke the peak dan ngong ping 360 pake kursi roda repot ga ya? ato ada akses jalan khusus kursi roda? makasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Restoran Kluwih Sunda Authentic, Bogor

Kalau kebanyakan orang ke restoran karena ingin makanannya, saya dan Bi ke Kluwih karena ingin lihat desainnya. Sebab restoran ini adalah salah satu finalis Himpunan Desain Interior Indonesia (HDII) Award 2017. Sebenarnya pemenangnya, Lemongrass, juga berlokasi di Bogor, namun jaraknya lebih jauh dari hotel tempat kami menginap, Ibis-style Bogor . Kami sengaja datang ke sini untuk makan malam supaya lampu-lampunya menyala. Asumsinya rumah makan sunda ini lebih bagus di waktu malam.

Beli Buku Impor Tanpa Ongkos Kirim

'Selamat Tahun Baru!' Walau sudah kelewat lebih dari dua minggu, tapi ini tulisan pertama saya di tahun ini. Jadi gapapa ya telat.  Mari mengawali tahun ini dengan senang hati. Saya memang lagi senang karena buku pesanan saya via online akhirnya datang juga. Biasanya saya beli buku impor di toko buku seperti Aksara dan teman-temannya. Tapi kadang, buku yang saya pengen ga ada dimana-mana. Mau beli di Amazon juga ga ngerti caranya, takutnya malah mahal kena pajak dan lain-lain. Sekitar dua tahun lalu, teman kerja saya waktu itu pernah cerita tentang hobinya beli buku online. "Kalau gw sering belinya di Book Depository, di sana gratis ongkos kirim ke seluruh dunia." "Woow," pikir saya waktu itu, tapi entah kenapa belum-belum juga nyoba beli di sana.  Desember kemarin, setelah ga berhasil menemukan buku yang saya mau di toko buku, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba Book Depository. Cara pesannya super gampang. Tinggal buat  account , terus pi...

Perlukah Insisi Tongue Tie

Ru sudah bukan bayi lagi, tapi pengalaman menjadi ibu baru dan mengurus bayi sangat membekas bagi saya. Itulah mengapa sekali-kali saya bercerita cerita lampau di sini. Siapa tahu ada ibu baru yang mengalami hal serupa dan bisa belajar dari pengalaman saya. Salah satunya adalah tentang tongue tie , salah satu hal yang sempat ditanyakan beberapa teman saya paska melahirkan. Hampir tiga tahun lalu Ru lahir di Rumah Sakit Puri Cinere. Rumah sakit ini pro ASI. Setelah melahirkan, saya dan Ru tidak hanya dikunjungi oleh dokter kandungan dan dokter anak, tapi juga dokter laktasi. Dokter spesialis menyusui datang dan memeriksa apakah cara menyusu bayi sudah benar dan adakah masalah dalam menyusui. Juga mengajarkan posisi menyusui yang benar. Benar-benar membantu karena menyusui itu ternyata tidak semudah kelihatannya. Beberapa hari setelah Ru lahir puting payudara saya lecet (maaf agak vulgar). Menurut dokter laktasi, setelah memeriksa mulut Ru, hal itu disebabkan Ru mengalami tongue ti...